Di desa Margomulyo terdapat sebuah dusun yang terletak di tengah-tengah hutan jati. Nama dusun itu Jepang. Di dusun itu hiduplah seorang kakek keturunan Ki Samin Surosentiko dengan seorang istri dan tujuh anaknya. Kakek tersebut bernama Harjo Kardi, masyarakat dusun Jepang memangil kakek tersebut dengan panggilan Mbah Harjo Kardi. Mbah Harjo Kardi merupakan cicit atau keturunan ke-4 Ki Samin Surosentiko.
Mbah Hardi Karjo lebih di kenal oleh masyarakat Bojonegoro sebagai pemimpin Samin. Dari mana asalnya mula kata “samin” dan mengapa di sebut “samin”.
Konon menurut cerita, Indonesia (baca: Jawa) lama sekali dijajah oleh Kolonial Belanda, sebelum (akhir perang Diponegoro dan awal Tanam Paksa), Sumoroto merupakan sebuah kabupaten besar di Jawa Timur (kini hanya sebuah distrik dalam wilayah kabupaten Tulungagung, Jawa Timur). Bupati Sumoroto yang bergelar pangeran itu adalah Kanjeng Raden Mas Adipati Brotodiningrat, memerintah tahun 1802 – 1826. Sedangkan deretan adipati yang memerintah di Sumoroto adalah sebagai berikut:
- Raden Mas Tumenggung Prawirodirejo, tahun 1746 – 1751
- Raden Mas Temenggung Somanegoro, tahun 1751 – 1772
- Raden Mas Adipati Brotodirejo, tahun 1772 – 1802
- Raden Mas Adipati Brotodiningrat, 1802 – 1826
- Raden Aryo Ronggo Wiryodiningrat, bergelar Bupati Wedono, tahun 1826 – 1844, dengan daerah makin sempit.
- Raden Aryo Ronggo Wiryodiningrat, dan
- Raden Aryo Surowijoyo.
Sedangkan Raden Aryo Surowijoyo (mengandung arti dia memiliki kemuliaan darah serta memperoleh kejayaaan besar), sebenarnya sejak kecil didik oleh orang tuanya (Raden Mas Adipati Brotoningrat) mengenal lingkungan kerajaan, dijejali oleh pandangan figuratif pewayangan yang mengangungkan tapa brata, gemar pihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir), dan mencintai keadilan. Setelah Raden Aryo Suryowijoyo beranjak dewasa, rupanya ia terpukul melihat realitas sekelilingnya, rakyat yang terhisap dan terjajah tidak bisa menggeliat lagi. Oleh orang tuanya pun, ia diajak memikirkan penderitaan rakyat yang dijajahan Belanda. Beliau sering berdiam diri, berangan-angan ingin meninggalkan kehidupan kerajaan, membaur dengan rakyat jelata dan melawan penjajah Belanda.
Pada suatu hari dengan langkah mantap Raden Aryo Suryowijoyo keluar dari istana dan membaur dengan rakyat jelata. Selanjutnya Raden Aryo Suryowijoyo belajar tentang realisme politik anak jalanan, hal ini membuktikan bahwa ia tidak lagi tertarik akan dunia kepangrehprajanan dan lebih tertarik kehidupan bohemian dan mistik. Kekecewaan dan kegetiran yang menumpuk, sehingga membawa kegelanggang, perjudian, madat, dan sampai memasuki dunia hitam: “brocorah”. Bagaikan “Robin Hood” di Inggris,ia sering merampok orang-orang kaya yang menjadi antek-antek Belanda atau kaki tangan Belanda. Hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Kekejaman penjajahan Belanda dan kesengsaraan rakyat yang tidak ada habisnya menjadi alasan mengapa ia harus melakukan tindakan ini. (Sastroatmodjo, 2003: 61)
Pada tahun 1840, Raden Aryo Suryowijoyo menghimpun kelompok brandalan Rajekwesi sampai Kanor. Kelompok perkumpulan tersebut diberi nama “Tiyang Sami Amin” Dari nama kelompok perkumpulan itulah muncul istilah samin. Samin berarti sama-sama amin, (sama-sama setuju), mengandung arti filosofis gerakan kebangkitan jiwa itu dianggap sudah sah apabila mendapat dukungan rakyat banyak yang setuju dan siaga. (Satroatmodjo, 2003:60) Dalam kelompok perkumpulan ini, pemuda diajarkan tingkah laku yang baik terhadap sesama, jangan sampai melakukan hal yang semena-mena, harus berjiwa besar , sabar, dan harus menentang penjajah Belanda. Diajarkan pula olah kanuragan, olah budi, olah batin, dan cara berperang yang dilukiskan dalam Sekar Pucung berikut ini.
Golong manggung, ora srambah ora suwung,
Kiyate neng glangang, lelatu sedhan mijeni,
Ora tanggung, ye leno kumelut pega,
Naleng kadung, kadhiparan salah sandhung,
Tetege mring Ingwang, jumeneng kalawan Rajas,
Lamun ginggang sireku umanjing praba.
Yang mengandung maksud:
(Sesuatu yang utuh, tidak teraba dan tiada sepi,
Namun kuat perang, bagaikan bara api yang mengundang datangnya diri,
Tiada tahu kelaknya, bila kejayaan itu akan sirna bersama asap,
Hati tidak luntur, seperti datangnya kesulitan kepada ku,
Aku yang bertahta, mengalahkan nafsu dan meraih Iman tertinggi,
Maka Kau dan Aku tak pisah, sebab kita menyatu dalam kebenaran)
Sekar pucung tersebut terdapat pada Serat Jati Sawit. (Sastroatmodjo, 2003 : 42) Ajaran tersebut mengandung 5 saran, yaitu: (1) Kehendak yang didasari usaha pengendalian diri, (2) Dalam beribadah kepada yang maha kuasa dan harus menghormati sesama mahluk Tuhan, (3) Dalam mawas diri, melihat batin sendiri setiap saat dan dapat menyelaraskan dengan lingkungan, (4) Dalam menghadapi bencana/bahaya yang merupakan cobaan dari yang maha kuasa, dan(5) Berperang pada budi pekerti.
Kelima saran ajaran tersebut merupakan senjata yang paling baik dan memiliki khasiat yang ampuh, karena dalam kehidupan banyak godaan dari segala arah.
Tahun 1859 lahirlah Raden Aryo Kohar di desa Ploso Kedhiren. Randhublatung Blora. Anak dari Raden Aryo Surowijoyo (samin Sepuh), cucu Raden Mas Adipati Brotodiningrat juga mempunyai sebutan Kanjeng Pangeran Aryo Kusumowinahyu, yang masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro. Setelah dewasa ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko (Samin Anom), sebab Samin adalah sebuah nama bernafaskan wong cilik.
Raden Aryo Surowijoyo merasa kecewa, sebab sampai pada generasi Raden Aryo Kohar (Samin Surosentiko, Samin Anom) rakyat masih sengsara, masih ditarik pajak oleh Pemerintah Kolonial Belanda, apabila tidak membayar pajak rakyat di pukuli dan dihajar seperti binatang. Maka pada saat seperti itu , Raden Aryo Surowijoyo (Sanim Sepuh) menghilang entah kemana, menurut masyarakat samin, bahwa Raden Aryo Surowijoyo tidak pernah mati, melainkan “mokhsa” menjadi penghuni kaswargan,(Sastroatmodjo, 2003:28)sehingga Raden Aryo Kohar (Samin Surosentiko, Samin Anom) hidupnya morat marit. (Pemda Dati II Bojonegoro, 1996: 10) Ia ditinggali tiga bau sawah, satu bau ladang, dan enam ekor sapi. Meskipun di zaman sekarang jumlah ini tidak seberapa, namun dibandingkan dengan masyarakat pada zamannya, jumlah ini tergolong banyak.
Setelah sekitar 30 tahun, Samin Surosentiko, memiliki gagasan mendekati masyarakat, mengembangkan ajarannya, mengadakan perkumpulan di balai desa atau di lapangan. Semakin lama pengikutnya semakin banyak, karena mereka tahu bahwa gagasannya baik. Gagasannya itu ingin mendirikan kerajaan batin seperti Amartapura dengan raja Prabu Darmokusumo atau Puntodewo, raja titisan Dewa Darmo, dewa kebaikan.(Pemda Dati II Bojonegoro, 1996: 10), pengukitnya mulai Nginggil dan Klopoduwur Blora, Tapelan Ngraho, Bojonegoro, Kutuk Kudus, Gunungsegara Brebes, Kandangan Pati, dan Tlaga Anyar Lamongan, kemudian mempersiapkan desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora sebagai basis pemberontakan melawan pemerintah Hindia Belanda. (Sastroatmodjo, 2003:17)
Tanggal 7 Februari 1889, Rabu Kliwon malam Kamis Legi mengumpulkan pengikutnya di ara-ara (tanah lapang) Bapangan. Beliau memberikan pidato pada pengikutnya sebagai berikut.
”Gur temah eling bilih sira kabeh horak sanes turun Pandawa, lan huwis nyipati kabrokalan krandhah Majapahit sakeng kakrage wadya musuh. Mula sakwit liyen kala nira Puntadewa titip tanah Jawa marang hing Sunan Kalijaga. Hiku maklumat tuwila kajantaka”
Pidato tersebut diucapkan dalam bahasa Jawa dialek Blora campuran Bojonegoro. Maksudnya Samin Surosentiko mengingatkan tiga perkara yaitu: (1) Orang Samin adalah tidak lain dari keturunan Satria Pandawa, tepatnya Prabu Puntadewa, saudara tertua yang berbudi luhur tanpa pamrih, (2) Pada zaman Sanjakala Majapahit keturunan ini mengalami pukulan dari orang-orang Demak yang mabuk kemenangan, (3) Para trah Pandawa di Majapahit sudah mengerti siapa yang benar dan siapa yang salah. Maka dari itu ketika mereka tersiksa, Prabu Puntadewa menampakkan kembali ke dunia , pergi ke Demak dan menitipkan keselamatan Tanah Jawa kepada Sunan Kalijaga (yang dianggap berhalauan moderat). Orang Samin beranggapan bahwa golongan Saminlah pewaris Tanah Jawa dalam arti peradaban dan budayanya.(Pemda Dati II Bojonegoro, 1996: 10)
Tanggal 11 Juli 1901 Minggu Legi malam Senin Pahing di lapangan Pangembalaan, Desa Kasiman, Bojonegoro dengan diterangi oleh nyala ratusan obor, Samin Surosentiko berbicara tentang kejatmikaan dengan sifat meneng, madep, mantep (tenang, teduh, dan mandiri)yang dihubungkan dengan kekuatan badan memfokuskan pada pikiran, hati yang tenang, ririh, ruruh, rereh dan tejem mengandung makna meditasi, sebagaimana suasana buana yang diciptakan sang tapa brata. Adapun pesan yang disampaikan sebagai berikut.
“Lan lakunira saputat-saputat nastyasih kukuluwung, langangan harah kadyatmikan cuwul haneng pambudi malatkung, sing dingin, hakarsa adyatmika tanpolih, dwinya maneges tapi hakarep tumiyang, katinempuh gendholan batin, nagarah-arah, catur mangeran ayun luweh dening tatasnya ngadil Myang, peneamangkin, sumarah renggep hatikel patuh”
Maksud dari pesan di atas, Samin Surosentiko memberikan ajaran kejatmikaan mengenai jasmani rohani (adyatmika), meliputi lima saran, yaitu: (1) Jatmika dalam kehendak, yang berlandaskan pada usaha pengendalian diri, (2) Jatmika dalam ibadah suci yang disertai pengabdian kepada sesama makhluk, (3) Jatmika dalam mawas diri, menjenguk batin sendiri suatu ketika demi keseimbangan diri dan lingkungan, (4) Jatmika dalam mengatasi bencana, yang terjadi lantaran cobaan Khalik atas makhluk-Nya, (5) Jatmika sebagai pegangan budi sejati.
Dalam pertemuan tersebut juga disampaikan mengenai ajaran (piwulang) kejamikaan, yang merupakan senjata yang paling ampuh, karena hidup ini banyak diserbu oleh kekacauan dari pelbagai arah, dan yang bukan mustahil berasal dari “dalam raga rapuh” itu sendiri, sehingga orang Samin sampai sekarang kelihatannya pasrah, sumeleh, sabar, narimo ing pandum laksana permukaan air telaga yang tak beriak atau tidak bersuara. (Sastroatmodjo, 2003:69)
Melalui laku tapabrata, ia memperoleh wahyu Serat Jamus Kalomosodo, serat ini terdiri dari Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip. Dan di tambah dengan Pandom (hukum)yang terdiri dari: (1) angger-angger pratikel (hukum tindak- tanduk), (2) angger-angger pangucap (hukum berbicara), dan (3) angger-angger lakonana (hukum perihal apa yang perlu dijalankan), semenjak mendapatkan wahyu tersebut pengikut Samin Surosentiko tambah banyak.
Menurut Soerjanto Sastoatmodjo (2003:19) dalam perkumpulan-perkumpulan, Samin Surosentiko dalam memberikan ajaran (piwulang) selalu menggunakan tulisan huruf Jawa yang berbentuk puisi tradisional (Sekar Macapat), selebihnya berbentuk prosa (Gancaran).
Ajaran (piwulang) Samin Surosentiko yang berbentuk prosa (Gancaran), sebagai berikut.
“Jer run tumuruning tumus, winetu hing praja, nalar wikan reh kasudarman, hayu ruwiyeng badra, nukti-nuting lagon, wirama natyeng kewuh, sangka sangganit rat”
(Adapun sifat-sifat kebaikan yang layak diajarkan, tidak lain mesti diolah oleh pertimbangan nalar (akal sehat), antaranya kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam berbuat sebagai pelindung, berusaha menamankan di setiap tempat, hendaknya laksana menata gending, lagu yang bersuasana ‘mengatasi penghalang hayat’ yakni segala yang kita emban sebagai tugas makhluk di jaga raya)
Lebih lanjut Soerjanto Sastratmodjo (2003: 37) menjelaskan kerangka cita-cita mengenai ajaran (piwulang) tugas kemanusiaan Samin Surosentiko adalah membangun kebudayaan yang paling inti.
Pedoman yang lain mengenai ajaran (piwulang) tugas kemanusiaan dirangcang dalam puisi tradisional (Sekar Macapat) Pangkur, sebagai berikut.
Saha malih dadya garan,
Anggegulang gelunganing pambudi,
Palakrami nguwoh mangun,
Mamagun treping widya,
Kasampar kasandung dugi prayogantuk,
Ambudya atmaja tama,
Mugi-mugi dadi kanthi.
(Serta lagi yang mesti kita jadikan senjata,
Untuk meltih ketajaman budi,
Dapat melalui perkawinan yang membuahkan kesanggupan,
Yakni semakna dengan meraih ilmu yang luhur,
Karena dalam perkawinan itu kita jatuh bangun dalam mencari cukup,
Apalagi tatkala menghasrati datangnya anak keturunan,
Yang kelak menjadi kawan dalam mengarungi bahtera kehidupan)
Soerjato Sastratmodjo (2003:39) menegaskan perkawinan adalah wadah prima bagi manusia untuk belajar, karena melalui lembaga in kita menekuni ilmu kasunyatan. Bukan saja karena perkawinan nanti membuahkan keturunan yang akan meneruskan sejarah hidup kita, tetapi juga karena sarana ini menegaskan hakikat ketuhanan, hubungan antara pria dan wanita, rasa sosial, dan kekeluargaan, serta tanggung jawab. Ajaran (piwulang) Samin Surosentiko, juga mengurusi masalah perkawinan atau antara pria dan wanita. (Pemda Dati II Bojonegoro, 1996: 12) Ajaran (piwulang) tugas kemanusiaan tersebut, terdapat dalam Serat Pikukuh Kasajaten.
Ajaran (piwulang) mengenai pandoming laku agesang (dasar kehidupan), pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi dalam sekar macapat Dandanggula sebagai berikut.
Pramila sasama kang dumadi,
mikanireh papaning sujana,
sayoga tulus pikukuhe,
angrengga jagat agung,
lelantaran mangun sukapti,
limpade kang sukarsa,
Wisaha angayun,
suka bukti mring prajengwang,
pananduring mukti,
kapti amiranti,
Dilah-kadhiling satya.
(Maka kepada sesama hidup,
dengan cara memahami tingkat kehidupan masing-masing,
seyogyanya tulus cara yang ditempuh [untuk memperkuatnya],
menghiasi dunia yang besar,
dengan lantaran tampil secara menyakinkan,
dengan mengetengahkan kelincahan,
dan kebolehan karsa,
memberikan [bukti kebaktian bagi negeri],
tiadalain menanamkan harkat kemuktian,
kelengkapan dari segala persiapan,
dan itulah sebagai nyala pelita dalam kesetiaan berjuang).
Dalam buku riwayat perjuangan Ki Samin Surosentiko,Pemda Dati II Bojonegoro(1996:12) mengartikan sebagai berikut, kepada sesama makhluk hidup, dengan cara memahami kehidupan masing-masing, sebaiknya tulus. Cara yang dilakukan adalah memelihara dunia yan besar dengan membuktikan kepercayaan, mengutamakan kelincahan dan kemampuan, sering dibuktikan, tidak lain yaitu menanam kebaikan. Lebih lanjut Sastroatmodjo, (2003:34) idealistis sekali, bukan?, dalam membangun manusia seutuhnya. Kegigihan dalam menggores kalam, untuk membangun insan kamil.(Suripan Hadi Hutomo, 1973:86) Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Uri-Uri Pambudi, merupakan serat yang paling penting dalam peri kehidupan masyarakat Samin.
Dalam serat tersebut juga ada ajaran kebatinan perihal “manunggaling kawulo Gusti” atau “sangkan paraning dumadi” itu dapat diibaratkan sebagai rangka umanjing curiga ( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya). Masudnya sebagai berikut : “Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging, dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam ini”.
Lebih lanjut diterangkan “yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membuat rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita ( yang merupakan realisasi kehadiran ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hidup mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya”.
Selanjutnya yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah Saderek gangsal kalima pancer adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin Surosentiko sebagai mandor. Seorang mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut.
“Gajah Seno saudara Wrekudara yang berwujud Gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka akan berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.
Pengandaian jiwa sebagai mandor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut di atas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja. Pemakaian kata yang sederhana tersebut, dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh pengikut-pengikutnya yang umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa.
Selajutnya, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu, sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan susah, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajaran yang berbunyi :
“..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah keindahan jagad raya. Dalam hubungan ini, manusia harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjian. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami pada asal-usul masing-masing”
Semua ajaran (piwulang) di atas dapat berjalan dengan baik asalkan orang yang menerima mau melatih diri dalam hal samadhi. Ajaran ini, berbunyi sebagai berikut.
“Adapun batinnya agar mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara samadhi, berlatih mati, senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana”.
Selanjutnya, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang (bagi manusia yang banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Diterangkan sebagai berikut.
“Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia). Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia)”.
Dari keterangan di atas dapatlah diketahui bahwa ajaran Samin Surosentiko tidak menganut faham Penitisan. tapi menganut faham “manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi”. Faham tersebut diinterpertasikan oleh Parsudi Suparlan, (1981:34) “darimana manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini, dan kemana tujuan hidup yang dijalani dan dituju”.
Sedangkan Serat Lampahing Urip, menguraikan perihal perjalanan hidup, yang memberikan pedoman cara menjodohkan pengantin, mencari hari baik untuk mendirikan rumah, dan lain-lain. Dalam serat tersebut juga terdapat mantra-mantra atau do’a-do’a. Lebih lanjut Soerjanto Sastroatmodjo (2003: 24) mengatakan banyak mantra atau do’a-do’a di lingkungan masyarakat Samin yang mengunakan simbol-simbol yang berasal dari ajaran islam, Masyarakat Samin juga menyebut Kalimah Syahadat, menggunakan istilah Nur Muhammad, Luhmaful, Arasy, Mikrat, Mukmi, Kalifatullah, Kabirulngalam, Kamidulngalam, Roh Idlafi, Roh Rabbani, dan lain-lain.
Kitab peninggalan Samin Surosentiko di atas, disebut Serat Jamus Kalimasada atau Layang Jamus Kalimasada atau Serat Pameling Kalimasada, kitab aslinya yang bertuliskan Bahasa Jawa Dwipa disimpan dengan baik oleh pemangkunya yaitu Harjo Kardi, trah keturunan ke-4. (Pemda Dati II Bojonegoro, 1996:1)
Selain kitab peninggalan Samin Surosentiko, ada pandom (hukum) kehidupan masyarakat Samin. Soerjanto Sastroatmodjo (2003:12) yang dikenal dengan :
(1) Angger-angger partikel (hukum tindak—tanduk)
Angger-angger partikel (hukum tindak—tanduk) adalah drengki (dengki), srei (iri hati), panasten (gampang marah), colong (mencuri), petil (kikir), jumput (ambil sedikit), nemu (menemukan), dagang (berdagang), kulak (kulakan), mblantik (calo), mbakul (berjualan), nganakno duit (rentenir), mbujuk (berbohong), apus (bersiasat), akal (trik), krenah (nasehat buruk) dan ngampungi pernah (tidak membalas budi). “Intinya adalah jujur antara perbuatan dan kelakuan.
Maksudnya, masyarakat Samin dilarang memiliki sifat dengki (membenci orang lain), berperang mulut, iri hati terhadap orang lain, berkehendak memiliki hak orang lain. Selain itu, masyarakat Samin juga dilarang mengambil milik orang lain tanpa izin dari yang punya.
Bukti nyata dari kesetiaan masyarakat Samin terhadap aturan tesebut dapat dilihat pada kehidupan kekinian mereka. Sekadar contoh, ketika masyarakat Samin menemu sesuatu di jalan, mereka tidak akan mengambilnya, mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan barang yang tertinggal tersebut. Jangankan mengambilnya, bermaksud mengambilnya saja tidak. Karena menurut mereka, barang itu bukanlah miliknya, dan tidak ada izin dari yang punya barang. Semua sudah ada rejekinya masing-masing, begitulah prinsip hidup mereka. Contoh lain, “Pernah ada peristiwa seorang sedulur lain (sebutan untuk orang di luar masyarakat Samin) yang uangnya tertinggal di tahun 1980-an, hingga saat ini uang itu masih disimpan,”
(2) Angger-angger pangucap (hukum berbicara)
Angger-angger pangucap (hukum berbicara) ,“Pangucap saka lima bundhelanĂ© ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu.” Maksud dari hukum ini, orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh, dan sembilan. Angka-angka tersebut di sini adalah angka-angka simbolik belaka. Makna umumnya adalah kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain. Tidak “menjaga” mulut, mengakibatkan hidup manusia di dunia ini tidak sempurna. Maka orang harus berbicara secara baik dengan orang lain.
(3) Angger-angger lakonana (hukum segala sesuatu yang harus dilakukan)
Angger-angger lakonana (hukum segala sesuatu yang harus dilakukan) “Lakonana sabar trokal. SabarĂ© diĂ©ling-Ă©ling. TrokalĂ© dilakoni.” Maksudnya, masyarakat Samin senantiasa diharapkan ingat pada kesabaran dan kesabaran dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi segala permasalahan, prinsip kesabaran dan ketabahan dalam menyelesaikan masalah menjadi acuan utama. Di lain sisi, selalu menempatkan segala bentuk kebahagiaan maupun kesedihan sebagai bagĂ©an (sesuatu yang kodrati harus diterima). Secara umum, prinsip ini dapat dihubungkan dengan filsafat Jawa wong sabar bakal subur (orang yang sabar kelak akan makmur/bahagia) ataupun nrimo ing pandum (menerima dengan iklas pemberian Tuhan).
Dengan berpedoman pada Serat Jamus Kalimasada dan kitab pandom kehidupan, Samin Surosentiko terus mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora, dan sekitarnya. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.
Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah lebih dari 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Raja Tanah Jawa, dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, yaitu asisten Wedana Randublatung. “Samin Surosentiko kitab iro durung tumanem aneng kalbu” (Samin Surosentiko kitab andalanmu belum tertanam dalam hati sanubari) demikian kata Raden Pranolo. Waktu mengetahui wujud Samin Surosentiko yang lemas, tangan dirantai, rambut digundul seperti tahanan, memakai celana lusuh yang menempel dibadannya yang lemah.
Siang harinya Samin Surosentiko dihadapkan “Ndoro Siten” di Ngasisen setelah semalam sebelumnya di tahan di bekas tobong (tempat pembakaran gamping). Setelah ditahan Samin Surosentiko beserta delapan pengikutnya akan dibunuh, cara yang dilakukan oleh bangsa Belanda yaitu:
- Dengan cara membronjong Samin Surosentiko kemudian dibuang ke laut, setelah Tuan Asisten pulang sampai di rumah, Samin Surosentiko juga sudah ada di rumah Tuan Asisten;
- Dengan cara ditembak di halaman rumah Tuan Asisten, malah yang kesakitan istri Tuan Asisten sendiri.
- Dengan cara diberi minuman racun, sebelum diminum Samin Surosentiko bertanya ‘iki apa?’ (ini apa?), Tuan Asisten menjawab ‘iki wedang’ (ini kopi), ‘wedang pa enak?’ (kopi apa enak?), tanya Samin Surosentiko yang kedua, Ta Asisten juga menjawab “enak”, setelah ada jawaban dari Tuan Asisten “enak” Samin Surosentiko langsung minum racun yang diberikan Tuan Asisten yang sudah berubah menjadi kopi, dan Samin Surosentko selamat.
“nagaranto niskala arum hapraja mulwaking gati, gen ngaup miwah samungku, nuriya hanggemi ilmu rukunarga tan kana blekuthuk”.
Masudnya adalah sebuah negara bisa kuat apabila mempunyai peranan penting yang dapat menentukan peraturan dunia, walaupun unsur pemerintah salah satunya adalah kelompok yang membuktikan kebijasanaan dan menghormati kepercayaan leluhurnya.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya di Distrik Jawa, (Madiun). Orang-orang desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan beberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial Belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak. Tujuan menolak membayar pajak di sini adalah perang yang tidak tampak dapat dikatakan dom sumuruping banyu (Jarum yang masuk ke dalam air). Perang ini tidak menggunakan senjata, dengan alasan tidak mau membunuh orang, tidak mau memukul orang, harus sabar. Perang seperti ini disebut ‘Sirep”.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh. Samin Surosentiko meninggalkan dua orang putra yaitu Karto Kemis dan Saniyah. Saniyah dinikahi oleh Suro Kidin. Samin Surosentika memberikan “Aji Pameling” kepada kedua putranya dan cucu-cucunya kelak harus:
- Mempertahankan negara dan mengikuti arus air, yang dimaksud arus air dalam hal ini situasi saat sekarang;
- Harus dibelakang jangan di depan, yang maksudnya kalau di depan akan ditentang, kalau di belakang akan diberi pertolongan,
- Meskipun bertahun-tahun, berwindu-windu saya (Samin Surosentiko) akan kembali ke Jawa, jangan lupa saya (Samin Surosentiko) bertempat di pohon yang besar, maksudnya pemerintah dan pengikutnya semakin banyak, oleh karena itu anak cucu tidak boleh takut;
- Samin Surosentiko merasakan sengsara tidak apa-apa, nanum nantinya anak cucu akan merasakan enaknya (Merdeka);
- Anak cucu harus sabar, jangan mempunyai pikiran untuk memiliki kepunyaan orang lain, semena-mena terhadap sesama manusia, dan tidak boleh mengambil barang milik orang lain meskipun menemukan harus dikembalkan; dan
- Orang ingin adil makmur itu berat, maka tingkakan usaha di bidang masing-masing.
Dengan pesan-pesan tersebut, anaknya tidak mampu melanjutkan perjuangan Samin Surosentiko, akhirnya perjuangan Samin Surosentiko dilanjutkan anak menantu yang bernama Suro Kidin. Suro Kidin juga tetap menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial Belanda, dan meneruskan ajaran Samin Surosentiko.
Semakin lama perbuatan pemerintahan kolonial Belanda, semakin menjengkelkan, dan akan menghabiskan masyarakat Samin dan pengikutnya. Maka masyarakat Samin semakin bingung mencari cara melawan pemerintah kolonial Belanda.
Tahun 1939, pada suatu hari Suro Kidin bersemadhi. Dalam semadhi Suro Kidin mendapat wangsit (Pameling/Wisik) yaitu: Supaya Suro Kidin menebur Sendang Lanang/Sedang Malaikat. Setelah dikebur yang ada hanya suara para lelembut, yang berbunyi sebagai berikut:
Jangan khawatir aku akan membantu kamu untuk mengusir Belanda, hanya syaratnya berat. Aku akan mencari “Jago Trondol” dari timur laut untuk sarana kamu merdeka. “Jago Trondoh” juga akan menjajah, malah lebih kejam, akan menghabiskan semuanya. “Larang sandang, larang pangan” itu sarananya. Oleh karena itu, kamu lekas pulang beritahu anak cucu agar “cawis uyah karo nandur kapas” (menyediakan garam dan menanam kapas) karena akan terjadi “larang sandang kan larang pangan” (mahal pakaian dan mahal makanan).
Suro Kidin memiliki delapan orang anak kandung dan satu anak angkat yang bernama Surokarto Kamidin dari desa Tapelan, Ngraho, Bojonegoro. Surokarto Kamidin meskipun anak angkat namun dipercaya ayahnya Suro Kidin. Oleh karea itu, Aji Pameling diajarkan kepada Surokarto Kamidin, supaya berkeliling ke seluruh Jawa Timur, memberitahu anak cucu supaya menanam kapas dan menyediakan garam karena akan mahal pakaian dan makanan.
Tahun 1940, Surokarto Kamidin berangkat berkeliling memberitahu anak cucu di desa-desa. SuroKarto Kamidin cukup memberitahu sesepuh supaya jangan drengki, srei, dahwen, kemeren, jangan semena-mena kepada orang lain, melanjutka ajaran Samin Surosentiko, dan menanam kapas dan menyediakan garam. Cangaan – Sodikromo, Nglembu – Somejo, Sumberbening – Wonoleksono dan Rono Sono, Nggating – Karso, Wangkuk – Jogoboyo, Pondok – Dengkol Sawiyo, Kalirejo – Pak Dapi, Tapelan – Pak Juki, Pelang – Kasiyo Rejo, dan Caruban – Joyo Lemah Ireng.
Memang sungguh nyata setelah Surokato Kamidin berkeling, tidak lama kemudian tahun 1942 Nippon atau Jepang datang lebih ganas daripada pemerintah kolonial Belanda. Hingga semua yang dimiliki penduduk entong, irus, siwur dirampas atau di sita.
Mendengar negara sudah merdeka, Surokarto Kamidin pergi ke Jakarta menghadap Pak Sukarno (Presiden Sukarno). Di Jakarta dia bertanya kebenarnya peraturan yang sedang dijalankan. Sepulang dari Jakarta dia langsung memberitahukan kepada anak cucu supaya taat kepada pemerintah, karena yang memerintah sudah bangsa Indonesia (orang Jawa diperintah oleh orang Jawa sendiri) seperti keinginan Samin Surosentiko yaitu kalau besuk sudah ada Kanjeng Jawa, Tinggi Jawa, Tunggu Jawa, itulah yang namanya merdeka.
Sebelum meninggal tahun 2006, Surokarto Kamindin menyuruh anak lelakinya yang buta huruf yang bernama Harjo Kardi yang bertempat tinggal di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, untuk meneruskan ajaran Samin Surosentiko, yaitu jangan drengki, srei, dahwen, kemeren, jangan semena-mena kepada orang lain dan membangun manusia seutuhnya. Harus pasrah semeleh, sabar, nrimo ing pandum, seperti air telaga tidak bersuara. Apabila semua orang telah melaksanakan ajaran tersebut maka itulah yang dinamakan adil makmur.
Dengan berjalannya waktu, Harjo Kardi dalam menjalani hidup beliau mempunyai empat pedoman yaitu: merah, hitam, kuning dan putih, yang dapat dipecah menjadi delapan yaitu panggada baik dan jelek, pangrasa baik dan jelek, pangrungon baik dan jelek, dan pangawas baik dan jelek. Putih untuk dasar, hitam untuk kesenangan (senang), kuning untuk pedoman tingkah laku, dan merah untuk sandang pangan (angkara murka). Maka dari itu, manusia harus waspada kalau senang jangan asal senag. Senag dibagi menjadi dua yaitu: senang kepada yang baik dan senang kepada yang jelek. Kalau senag pada yang baik mari kita lakukan, nanum senang kepada yang jelek mari kita tinggalkan.
Panggada ini dibagi dua: ganda (bau) yang baik dan ganda (bau) yang jelek. Bila ganda yang baik mari dilakukan sedangkan ganda yang jelek mari kita tinggalkan. Maka dari itu kalau orang tahu jangan asal tahu. Tahu orang atau tahu sandang pangan. Kalau tahu, orang harus ingat milik sendiri maksudnya kalau tahu sandang pangan hingga kemanapun diikuti, itu dinamakan orang keliru.
Pangrasa dibagi dua yaitu rasa benar dan rasa salah. Kalau rasa benar mari dilakukan, kalau rasa salah mari ditinggalkan.
Pangrungon dibagi dua yaitu mendengar yang baik dan mendengar yang jelek. Mendengar jangan asal mendengar apabila mendengar yang baik mai kita lakukan dan sebaliknya apabila mendengar yang jelek mari kita tinggalkan.
Pengawas juga dibagi dua yaitu melihat yang baik dan melihat yang buruk. Maka dari itu melihat jangan asal melihat, kalau melihat harus tahu milik sendiri, kalau melihat yang jelek sebaiknya ditinggalkan.
Jadi kalau semua orang dapat memedomani dan mengahayati hal tersebut, maka akan mengerti posisi pribadi kita. Sehingga semua ini masih tercermin dalam tradisi lisan yang kuat dalam masyarakat Samin di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro sebagai berikut.
- Agama iku gaman, adam pangucape, man gaman lanang, (Maksudnya Agama Adam merupakan pedoman hidup, Nabi Adam yang mengucapkan);
- Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, bedhog colong, (Maksudnya jangan menggangu orang, jangan suka bertengkar, jangan iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang lain (mencuri));
- Sabar lan trokal empun ngantos jrengki srei, ampun ngantos riya sepada, ampun ngantos nganti pek pinek kuntil jumput bedhog colong, napa malih bedhog colong, napa malih mlirik barang, nemu barang teng dalan mawon kulo simpangi, (Maksudnya bersikap sabar dan jangan sombong, jangan mencuri barang orang, apalagi mencuri mengambil barang tercecer di jalan itupun dijauhi);
- Wong urip kudu ngerti ing uripe, sebab urip siji digawa selawase, (Maksudnya Manusia hidup di dunia haruslah memahami kehidupannya, sebab hidup (sukma, roh) itu hanya sekali dan abadi selamanya);
- Wong enom mati, uripe titip sing urip, bayi uda nangis nger niku sukma ketemu raga. Dadi mulane wong niku mbotem mati, nanging ganti sandangan. Kedah sabar lan trokal sing di arah turun-temurun, dadi ora mati nanging kumpul sing urip, apik wong selawase, sepisan dadi wong selawase wong. (Maksudnya apabila anak muda meninggal dunia, maka hidup (sukma, rohnya) dititipkan pada (sukma, rohnya) orang yang hidup. Sewaktu bayi lahir (telanjang) dan menangis hal itu suatu pertanda bahwa sukma, roh bertemu dengan tubuh atau raganya. Oleh karena itu sukma,roh orang itu tidak meninggal. Yang jelas adalah dia meninggalkan pakaianya atau ganti sandangan (salin sandangan) adalah istilah untuk kematian, sandangan bermakna tubuh atau adan anusia. Manusia hidup haruslah mengejar kesabaran secara terus-menerus. Sekali orang berbuat kebaikan, selamanya dia akan menjadi orang baik dimata orang lain);
- Dhek jaman Londo niku njalik pajek mboten trima sak legane nggih mboten diwehi, bebas mboen seneng, kenek jaga yo ora nyang, jaga omahe dewe. Nyengkahing Negara telung tahun dikenek kerja paksa. (Maksudnya pada jaman pemerintah kolonial Belanda pembayaran pajak buka didasarkan pada kesukarelaan, tapi atas dasar paksaan sehingga masyarakat Samin tidak mau membayar pajak, mereka tidak mau memperbaiki jalan, tidak mau ronda malam lebih baik menjaga rumah mereka masing-masing, berselisih pendapat dengan pemerintah Belanda dikenai kerja paksa);
- Pangucap saka lima bundelane ana pitu, lan pangucap saka sanga bundelane ana pitu, (Maksudnya apabila berbicara harus menjaga mulut kita. Hali ini diibaratkan seperti orang berbicara dari angka lima yang berhenti pada angka tujuh, dan dari angka sembilan berhenti pada angka tujuh juga. Jadi angka tujuh memengang peranan penting untuk pegangan, sebab angka ini terletak di tengah-tengah angka lima dan sembilan);
- Wit jeng Nabi kula lanang, damel kula rabi, tata-tata jeneng wadok pengaran Sukini. Kukuh demen janji buk bikah empun kula lakoni. (Maksudnya sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin, mengawini perempuan bernama Sukini dan saya berjanji setia dan hidup bersama);
KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
BalasHapusdan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 4 angka [2876] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-321-606-847)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang NOMOR 890 JUTA , wassalam.