Sabtu, 13 September 2014

Akibat Ibu Dendam pada Anak (Serial Poniman Bag. 5)


Temaram telah merayapi Pasar Legi Kacangan, menyelimuti sisa kesibukan kecil di salah satu sudutnya yang mulai terbantu sedikit oleh terangnya sinar kekuningan lampu penerang jalan. Persisnya di area para pedagang pisang, tempat penampungan sementara hasil kebun pisang para petani yg pagi tadi berdatangan dari berbagai penjuru desa di wilayah kecamatan Ngambon, Purwosari, Tambakrejo, Ngasem dan sekitarnya.

Pasar Legi terbilang menjadi pasar pisang terbesar di wilayah Bojonegoro barat. Pisang dari Pasar Legi ini banyak dikirim oleh para pedagang pengepul untuk dipasarkan ke berbagai kota besar, seperti Surabaya, Solo hingga semarang. Pasar Legi sendiri sebagai pasar desa memiliki jadwal rutin dibanjiri banyak para pembeli dan pedagang dari berbagai luar daerah, termasuk dari Padangan dan Bojonegoro, tiap hari pasaran Legi dan Pon (hari pasaran Jawa). 


Setiap sore sehabis pasaran Legi dan Pon, menjadi saat yang ditunggu-tunggu karena datangnya berkah rezeki bagi warga sekitar pasar yg menjadi tenaga angkut menaikkan timbunan pisang yg menggunung ke atas truk-truk, yang untuk selanjutnya dikirim ke kota-kota besar.



Petang itu di sela-sela deretan tak kurang dari 10 truk yang sudah bermuatan penuh pisang, nampak Poniman yang turut serta menjadi tenaga angkut pisang, mulai berkemas merapikan diri dan becaknya untuk sejurus kemudian menuntun becaknya menuju musholla kecil di sudut pasar yang bangunannya menyatu dalam area Pasar Legi.

Seiring lengkingan suara anak kecil yang adzan di musholla sederhana tadi, Poniman menyempatkan bersih diri dengan mandi dan berwudlu. Sejenak kemudian, iqomahpun dikumandangkan dan sholat jamaah segera dimulai. Ada tiga shaf, yang pertama shaf orang-orang tua, dua shaf berikutnya campuran anak muda dan anak-anak seusia SD, dan sekitar empat langkah di belakang ada satu shaf putri.

Selepas sholat dan dzikir, Poniman beranjak hendak pulang. Namun langkah untuk pulang ia urungkan saat melihat anak-anak bercanda di teras musholla. 

Poniman : lho...kalian nggak ngaji ?

Anak-anak : malam jum'at libur ngaji, maaass... (jawab mereka serempak)

Mendapat jawaban seperti itu, tiba-tiba nyelonong begitu saja ide Poniman untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan memberikan cerita berhikmah kepada mereka.

Poniman : Naah...mumpung libur ngaji, gimana kalau mas kasih cerita bagus ? mau ?

Anak-anak : Mauuu...... (Lagi-lagi mereka menjawab kompak)

Poniman : Oke, kalau gitu kita masuk ke dalam musholla aja biar ceritanya seru.

Anak-anak pun dengan sedikit riuh khas anak mengikuti ajakan itu, dan spontan sekitar 15 anak langsung duduk melingkari Poniman. Sementara itu tak jauh dari mereka, ada beberapa orang jamaah, diantaranya pak Rokhim (imam rowatib musholla), pak Arif (pensiunan guru), pak Srijan (anggota Polri), pak Fauzan, lek Sarjiyo dan beberapa lainnya.
Setelah melihat anak-anak duduk tertib, Poniman pun mengawali ceritanya...

Poniman : ini kisah nyata yang mas dapatkan sekitar setahun lalu saat mas menjenguk Om Wik yang sakit stroke dan dirawat di RS Aisiyah Bojonegoro

Roy : (tiba-tiba nyelutuk) Om Wik bapaknya mas Andik dan mas Arif itu to, mas ? 

Zakiyya : (ikut menimpali) berarti Om Wik gendut yang suka menggoda aku kalau pas beli baksonya Abiku itu, mas? 

Poniman : Iya...iya... (sambil menanggapinya dengan senyum)
Mas lanjutkan ceritanya, pada waktu itu mas sempat ketemu dan ngobrol dengan orang yang sedang nunggu bapaknya. Kebetulan bapak orang itu dirawat di satu ruang dengan Om Wik. Orang itu namanya Jamil.

Ilham : (nyelonong muncul isengnya) Tapi bukan Saiful Jamil penyanyi kan, mas?

Poniman : Oo....bukan, namanya Jamil, rumahnya di Bogor.

Pada akhir tahun 2003, istri Jamil selama 11 malam tidak bisa tidur. Jamil sudah berusaha membantu agar istrinya bisa tidur, dengan membelai, diusap-usap, masih susah tidur juga. Sungguh cobaan yang sangat berat. Akhirnya Jamil membawa istrinya ke RS Citra Insani yang kebetulan dekat dengan rumahnya. Sudah 3 hari diperiksa tapi dokter tidak menemukan penyakitnya. 

Kemudian Jamil pindahkan istrinya ke RS Azra, Bogor. Selama berada di RS Azra, istri Jamil badannya panas dan selalu kehausan. Setelah dirawat 3 bulan di RS Azra, penyakit istri Jamil belum juga diketahui penyakitnya.

Akhirnya Jamil putuskan untuk pindah ke RS Harapan Mereka di Jakarta dan langsung di rawat di ruang ICU. Satu malam berada di ruang ICU pada waktu itu senilai Rp 2,5 juta. Badan istri Jamil –maaf- tidak memakai sehelai pakaian pun. Dengan ditutupi kain, badan istri Jamil penuh dengan kabel yang disambungkan ke monitor untuk mengetahui keadaan istrinya. Selama 3 minggu penyakit istri belum bisa teridentifikasi, tidak diketahui penyakit apa sebenarnya.

Kemudian pada minggu ke-tiga, seorang dokter yang menangani istri Jamil menemui Jamil dan bertanya,
“Pak Jamil, kami minta izin kepada pak Jamil untuk mengganti obat istri bapak.”
“Dok, kenapa hari ini dokter minta izin kepada saya, padahal setiap hari saya memang gonta-ganti mencari obat untuk istri saya, lalu kenapa hari ini dokter minta izin ?”
“Ini beda pak Jamil. Obatnya lebih mahal dan obat ini nantinya disuntikkan ke istri bapak.”
“Berapa harganya dok?”
“Obat untuk satu kali suntik 12 juta pak.”
“Satu hari berapa kali suntik dok?”
“Sehari 3 kali suntik.”
“Berarti sehari 36 juta dok?”
“Iya pak Jamil.”
“Dok, 36 juta bagi saya itu besar sedangkan tabungan saya sekarang hampir habis untuk menyembuhkan istri saya. Tolong dok, periksa istri saya sekali lagi. Tolong temukan penyakit istri saya dok.”

“Pak Jamil, kami juga sudah berusaha namun kami belum menemukan penyakit istri bapak. Kami sudah mendatangkan perlengkapan dari RS Cipto dan banyak laboratorium namun penyakit istri bapak tidak ketahuan.”
“Tolong dok…., coba dokter periksa sekali lagi. Dokter yang memeriksa dan saya akan berdoa kepada Rabb saya. Tolong dok dicari”
“Pak Jamil, janji ya kalau setelah pemeriksaan ini kami tidak juga menemukan penyakit istri bapak, maka dengan terpaksa kami akan mengganti obatnya.” Kemudian dokter memeriksa lagi.
“Iya dok.”

Setelah itu Jamil pergi ke mushola untuk shalat dhuha dua raka’at. Selesai shalat dhuha, Jamil berdoa dengan menengadahkan tangan memohon kepada Allah, -setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Rasululloh,
“Ya Allah, ya Tuhanku….., gerangan maksiat apa yang aku lakukan. Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga engkau menguji aku dengan penyakit istriku yang tak kunjung sembuh. Ya Allah, aku sudah lelah. Tunjukkanlah kepadaku ya Allah, gerangan energi negatif apakah yang aku lakukan sehingga istriku sakit tak kunjung sembuh ? sembuhkanlah istriku ya Allah. Bagimu amat mudah menyembuhkan penyakit istriku semudah Engkau mengatur Milyaran planet di muka bumi ini ya Allah.”

Kemudian secara tiba-tiba ketika Jamil berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa yang pernah aku lakukan? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga aku diuji dengan penyakit istriku tak kunjung sembuh?” Jamil teringat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu ketika Jamil mengambil uang ibu sebanyak Rp150,-.

Dulu, ketika kelas 6 SD, SPP Jamil menunggak 3 bulan. Pada waktu itu SPP bulanannya adalah Rp 25,. Setiap pagi wali kelas memanggil dan menanyakannya, “Jamil, kapan membayar SPP ? Jamil, kapan membayar SPP ? Jamil, kapan membayar SPP ?” Jamil malu. Dan ketika waktu istrirahat Jamil pulang dari sekolah, Jamil menemukan ada uang Rp150, di bawah bantal ibunya. Ia mengambilnya. Rp75,- untuk membayar SPP dan Rp75,- ia gunakan untuk jajan.

Jamil kemudian bertanya, kenapa ketika berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga penyakit istriku tak kunjung sembuh?” Jamil diingatkan dengan kejadian kelas 6 SD dulu ketika ia mengambil uang ibu. Padahal ia hampir tidak lagi mengingatnya ??. 

Deni : Uangnya cuma Rp.150,- kan sedikit, mas ? Dipakai beli es juga gak dapat.

Poniman : Hehehe... Uang Rp.150,- jaman itu, kalau sekarang ya sama dengan Rp.150.000,-

Mas lanjutkan ceritanya, dari situ maka Jamil berkesimpulan mungkin ini petunjuk dari Allah. Mungkin inilah yang menyebabkan istrinya sakit tak kunjung sembuh dan tabungannya hampir habis. Setelah itu ia menelpon ibunya,
“Assalamu’alaikum Ma…”
“Wa’alaikumus salam Mil….” Jawab ibu Jamil.
“Bagaimana kabarnya Ma ?”
“Ibu baik-baik saja Mil.”
“Trus, bagaimana kabarnya anak-anak Ma ?”
“Mil, mama jauh-jauh dari Lampung ke Bogor untuk menjaga anak-anakmu. Sudah kamu tidak usah memikirkan anak-anakmu, kamu cukup memikirkan istrimu saja. Bagaimana kabar istrimu Mil, bagaimana kabar Ria nak ?” –dengan suara terbata-bata dan menahan sesenggukan isak tangisnya-.
“Belum sembuh Ma.”
“Yang sabar ya Mil.”
Setelah lama berbincang sana-sini –dengan menyeka butiran air mata yang keluar-, Jamil bertanya, “Ma…, Mama masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu ?”
“Yang mana Mil ?”
“Kejadian ketika Mama kehilangan uang Rp150,- yang tersimpan di bawah bantal ?”

Kemudian di balik ujung telepon yang nun jauh di sana, Mama berteriak, (ini yang membuat bulu roma Jamil merinding setiap kali mengingatnya)
“Mil, sampai Mama meninggal, Mama tidak akan melupakannya.” (suara mama semakin pilu dan menyayat hati),
“Gara-gara uang itu hilang, mama dicaci-maki di depan banyak orang. Gara-gara uang itu hilang, mama dihina dan direndahkan di depan banyak orang. Pada waktu itu mama punya hutang sama orang kaya di kampung kita Mil. Uang itu sudah siap dan mama simpan di bawah bantal namun ketika mama pulang, uang itu sudah tidak ada. Mama memberanikan diri mendatangi orang kaya itu, dan memohon maaf karena uang yang sudah mama siapkan hilang. 
Mendengar alasan mama, orang itu merendahkan mama Mil. Orang itu mencaci-maki mama Mil. Orang itu menghina mama Mil, padahal di situ banyak orang. Malu rasanya Mil. Mamamu direndahkan di depan banyak orang padahal bapakmu pada waktu itu guru ngaji di kampung kita Mil tetapi mama dihinakan di depan banyak orang. SAKIT.... SAKIT... SAKIT rasanya.”

Dengan suara sedu sedan setelah membayangkan dan mendengar penderitaan dan sakit hati yang dialami mama pada waktu itu, Jamil bertanya, “Mama tahu siapa yang mengambil uang itu ?”
“Tidak tahu Mil…Mama tidak tahu.”
Maka dengan mengakui semua kesalahan, Jamil menjawab dengan suara serak,
“Ma, yang mengambil uang itu saya Ma….., maka melalui telpon ini saya memohon keikhlasan Mama. Ma, tolong maafkan Jamil Ma…., Jamil berjanji nanti kalau bertemu sama Mama, Jamil akan sungkem sama mama. Maafkan saya Ma, maafkan saya….”
Kembali terdengar suara jeritan dari ujung telepon sana,
“Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim…..Ya Allah ya Tuhanku, aku maafkan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Maafkanlah dia ya Allah, ridhailah dia ya Rahman, ampunilah dia ya Allah.”

“Ma, benar mama sudah memaafkan saya ?”
“Mil, bukan kamu yang harus meminta maaf. Mama yang seharusnya minta maaf sama kamu Mil karena terlalu lama mama memendam dendam ini. Mama tidak tahu kalau yang mengambil uang itu adalah kamu Mil.”
“Ma, tolong maafkan saya Ma. Maafkan saya Ma?”
“Mil, sudah lupakan semuanya. Semua kesalahanmu telah saya maafkan, termasuk mengambil uang itu.”
“Ma, tolong iringi dengan doa untuk istri saya Ma agar cepat sembuh.”
“Ya Allah, ya Tuhanku….pada hari ini aku telah memaafkan kesalahan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Dan juga semua kesalahan-kesalahannya yang lain. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit menantu dan istri putraku ya Allah.”

Setelah itu, Jamil tutup telepon dengan mengucapkan terima kasih kepada mama. Dan itu selesai pada
pukul 10.00 wib, dan pada pukul 11.45 wib seorang dokter mendatangi Jamil sembari berkata,

“Selamat pak Jamil. Penyakit istri bapak sudah ketahuan.”
“Apa dok?”
“Infeksi prankreas.”

Jamil terus memeluk dokter tersebut dengan berlinang air mata kebahagiaan, “Terima kasih dokter, terima kasih dokter. Terima kasih, terima kasih dok.”
Selesai memeluk, dokter itu berkata, “Pak Jamil, kalau boleh jujur, sebenarnya pemeriksaan yang kami lakukan sama dengan sebelumnya. Namun pada hari ini terjadi keajaiban, istri bapak terkena infeksi prankreas. Dan kami meminta izin kepada pak Jamil untuk mengoperasi cesar istri bapak terlebih dahulu mengeluarkan janin yang sudah berusia 8 bulan. Setelah itu baru kita operasi agar lebih mudah.”

Setelah selesai, dan Jamil pastikan istri dan anaknya selamat, ia kembali ke Bogor untuk sungkem kepada mama bersimpuh meminta maaf kepadanya, “Terima kasih Ma…., terima kasih Ma.”
Namun…., itulah hebatnya seorang ibu. Jamil yang bersalah namun justru mama yang meminta maaf. “Bukan kamu yang harus meminta maaf Mil, Mama yang seharusnya minta maaf.”


Nah anak-anak ... Sungguh benar sabda Rasulullaah shalallaahu ’alaihi wa sallam :

"Ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua" (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim)
"Ada tiga orang yang tidak ditolak doa mereka: orang yang berpuasa sampai dia berbuka, seorang penguasa yang adil, dan doa orang yang teraniaya. Doa mereka diangkat Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, 'Demi keperkasaan-Ku, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Attirmidzi)

Kita dapat mengambil HIKMAH bahwa:

Bila kita menjadi seorang anak ...

Janganlah sekali-kali membuat marah orang tua, karena murka mereka akan membuat murka Allah subhanahu wa ta’ala. Dan bila kita ingin selalu diridloi-Nya maka buatlah selalu orang tua kita ridlo kepada kita.

Jangan sampai kita berbuat zholim atau aniaya kepada orang lain, apalagi kepada kedua orang tua, karena doa orang teraniaya itu terkabul.

Apakah kalian siap berbakti kepada kedua orang tua kalian ?

Anak-anak : siaaapp..!!!

Poniman : Nah bila kelak kalian sebagai orang tua ...

Berhati-hatilah pada waktu marah kepada anak, karena kemarahan kita dan ucapan kita akan dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan kadang penyesalan adalah ujungnya.
Doa orang tua adalah makbul, bila kita marah kepada Anak, Berdoalah untuk kebaikan anak-anak kita, maafkanlah mereka.

Semoga kita di karuniai anak keturunan yang shaleh dan shalehah, yang pintar dan kreatif dan menjadi kebanggaan kita dalam kebaikan. 

Diakhir kalimatnya, Poniman dengan ekor matanya menyempatkan melirik jamaah bapak-bapak yg masih bertahan di musholla, dan ternyata kepala mereka terlihat manggut-manggut merespon akhir penuturan Poniman.

Setelah anak-anak buyar dan antri berwudlu untuk persiapan sholat Isya', terlihat pak Rokhim menghampiri Poniman.

Pak Rokhim : Alhamdulillah...cocok, mas Man, kalau anak-anak diberi cerita-cerita bagus seperti itu. Syukur kalo bisa tiap malam jum'at jadi kegiatan rutin di sini

Poniman : Wah...itu yang saya ndak bisa jamin, soalnya terkadang ada pekerjaan lain, maklum masih serabutan

Pak Srijan, Lek Sarjiyo, pak Fauzan, pak Arif turut mendekat untuk bersalaman dan nimbrung ngobrol

Pak Arif : Anu..., mas Man. Anak-anak memang butuh cerita-cerita seperti itu. Saya teringat jaman dulu tiap kamis sore menjelang maghrib anak-anak itu sudah punya tradisi ngumpul di depan radio untuk mendengarkan dongeng Pak Har di RRI Madiun.

Lek Sarjiyo : Hehe...njenengan kok masih ingat aja, Pak Arif ?

Pembicaraan pun harus diakhiri saat Zakiyya sudah melengkingkan adzan atas perintah Pak Rokhim, karena telah masuk waktu sholat Isya'.

Allahu Akbar....Allaaaaaaaaahu Akbar....


To Be Continue....(bersambung)


Catatan : Maaf bila terdapat kesamaan nama tokoh dan alur cerita dengan realitas yang ada. Serial obrolan imajiner ini semata ditulis dengan tidak ada maksud lain kecuali untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan. Sedangkan pengambilan setting lokasi Desa kacangan dimaksudkan untuk lebih mengentalkan nuansa emosi pembaca, serta mengangkat hal-hal yang terjadi pada realitas kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Kacangan. 

Kritik/saran/masukan yang bersifat konstruktif (membangun) dari siapapun sangat kami harapkan. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar