Jumat, 05 September 2014

Air mata Mutiara (Serial Poniman Bag. 4)

Air mata Mutiara (Hidup adalah Perjuangan) 

Arus lalu lintas di jalan raya Desa Kacangan siang itu agak padat. Selain anak-anak sekolah yang baru pulang, jalan juga mulai dipadati konvoi supporter C_Second Fc dan Ngasem Raya Fc yang sore itu dijadualkan akan berlaga dalam Turnamen Sepakbola Kacangan Cup 2012 di Gelora Sawahan Kacangan. Beragam asesoris mereka kenakan sebagai wujud kecintaan dan dukungannya kepada tim andalan masing-masing. Sesekali bunyi terompet melengking menyeruak di tengah konvoi. Meskipun jalan mereka hampir beriringan, namun tak ada insiden anarkis apapun. Hal ini menandakan bahwa para supporter, terutama supporter C_Second FC sebagai tuan rumah, telah memiliki tingkat kedewasaan dan memegang prinsip sportifitas dengan baik. 


Selain supporter sepakbola, terlihat juga puluhan ABG terkonsentrasi di beberapa titik, diantaranya di depan Cafe Sabun, warung Mas Kohar, depan Balai Desa Kacangan, pertigaan Gang Cemara, perempatan Warung Sambi. Atribut yang mereka kenakan cukup mencolok khas Parawali, sebutan fans grup Wali Band. Rupanya mereka tengah mempersiapkan diri untuk menyaksikan konser Wali Band di Bendung Gerak Kalitidu. Konser yang mendatangkan grup band nasional ini sendiri diadakan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-67 sekaligus puncak peringatan Hari Jadi Bojonegoro (HJB) yang ke-335. 



Konser Wali Band di Bendung Gerak Kalitidu 

Sambil sesekali menghindari ruang-ruang kemacetan, Poniman mengayuh becaknya menuju arah utara. Ia berniat sholat Dhuhur sekaligus rehat sejenak di Masjid Mujahidin Kacangan. Namun niat itu ia urungkan ketika melihat masjid dipenuhi anak-anak sekolah dan para supporter yg juga akan menunaikan sholat Dhuhur. Ia kemudian membelokkan becaknya ke halaman Musholla Al Huda. Di halaman parkir musholla telah berjajar rapi beberapa sepeda motor dan sepeda onthel milik anak-anak Komunitas Anak Yatim+, sebuah perkumpulan yang menghimpun anak-anak yatim dari desa Kacangan, Mediyunan, Ngambon, Nglampin, Bondol, Turi, Mulyorejo dan sekitarnya. 

Diantara anak-anak itu ada yang masih mengenakan baju seragam sekolah. Rupanya mereka dari sekolah langsung ke musholla. Mereka siang itu sedang ada acara pembinaan rutin yang diadakan sepekan sekali. Biasanya pembinaan diadakan tiap Ahad siang, namun untuk pekan ini jadualnya diajukan siang itu, karena jadual pembinanya pada hari Ahad depan bertabrakan dengan agenda lain. 

 Selepas tunaikan sholat Dhuhur, Poniman menyelonjorkan kaki sambil rebahan, menghilangkan penat. Sejurus kemudian, ia kembali duduk dan memanggil anak-anak yatim yang sedang duduk berpencar beberapa gerombol. Ia ingin memanfaatkan kesempatan sekecil apapun untuk sesuatu yang bermanfaat. Dan siang itu ia melihat kesempatan luang pada anak-anak yatim yang sedang menunggu pembinanya datang. 

Poniman : Eh adik-adik…., kalian sedang nunggu Pembina, kan ? Untuk mengisi waktu luang, mau nggak kalian mendengarkan cerita ? 

Nanda Arum : Wah… mau, mas…. (sahut anak berperawakan tinggi yang kini turut memperkuat skuad tim Persibo U-17, diikuti pula dengan sahutan anak lainnya. Kemudian mereka secara serentak langsung mengerubuti Poniman, yang putra melingkar persis di depan Poniman, sementara yang putri mengambil posisi melingkar di lapis kedua.) 

Poniman : Langsung aja ya….. Pada suatu hari ada seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya, sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. "Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu." Si ibu terdiam, sejenak, "Aku tahu bahwa itu sakit anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut. Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit terkadang masih terasa. 

Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar. Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. 

Heri : (anak yang ikut memperkuat PS Cakra U-15 ini tiba-tiba nyeletuk) Memang proses terbentuknya mutiara seperti itu ya mas ? 

Poniman : Oh kurang lebihnya seperti itu… Dalam proses itu ada yang namanya penderitaan. Dan penderitaannya berubah menjadi mutiara; air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan. 

Marinda : (anak yang rumah tinggalnya di Jl. Paradise Kacangan –jalan kuburan- ini turut menyahut) Berarti untuk menghasilkan yang terbaik itu harus melalui proses yang berat dan terkadang membutuhkan penderitaan kita ya, mas ? 

 Poniman : Pinter sekali…!!! Cerita tadi adalah sebuah kerangka berpikir yg menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong yang terkadang sukar dipahami akal untuk menjadikan "kerang biasa" menjadi "kerang luar biasa". Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah "orang biasa" menjadi "orang luar biasa". 

Rofik : (anak dari Desa Kalisumber yang kini hidup hanya bersama adiknya ikut menyela) Kata Bang Haji Rhoma hidup adalah perjuangan, mas…. 

Poniman : Yups…betul itu… Banyak orang yang mundur saat berada di lorong tersebut, karena mereka tidak tahan dengan cobaan yang mereka alami. Ada dua pilihan sebenarnya yang bisa mereka masuki: menjadi `kerang biasa' yang disantap orang atau menjadi `kerang yang menghasilkan mutiara'. Sayangnya, lebih banyak orang yang mengambil pilihan pertama, sehingga tidak mengherankan bila jumlah orang yang sukses lebih sedikit dari orang yang `biasa-biasa saja'. 

Mungkin saat ini kalian sedang mengalami banyak kesusahan, kepedihan, dan berbagai hal yang kalian rasakan berat sekali untuk anak seusia kalian karena ketiadaan orang tua. Cobalah utk tetap tersenyum dan tetap berjalan di lorong tersebut, dan sambil katakan di dalam hatimu.. "Airmataku diperhitungkan Tuhan.. dan penderitaanku ini akan mengubah diriku menjadi mutiara." Kalian siaaaap… ? 

Anak-anak Yatim : (menjawab dengan serempak) Siaaapp…!!! 

Anwar Taufik : (tiba-tiba sosoknya sudah muncul di pintu musholla) Assalaamu’alaikum….!!! 

Poniman+Anak Yatim : Wa’alaikumussalam… 

Anwar Taufik : Oo.. mas Poniman to, kirain siapa… 

Poniman : Iya mas….waktu nunggu sampeyan tadi mereka tak kasih cerita. Monggo silahkan dilanjut, saya mau jalan lagi…. Assalaamu’alaikum.. 

Anwar Taufik+Anak Yatim : Wa’alaikumussalam….. 

 (bersambung) to be continue.... 

Catatan : Maaf bila terdapat kesamaan nama tokoh dan alur cerita dengan realitas yang ada. Serial obrolan imajiner ini semata ditulis dengan tidak ada maksud lain kecuali untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan. Sedangkan pengambilan setting lokasi Desa kacangan dimaksudkan untuk lebih mengentalkan nuansa emosi pembaca, serta mengangkat hal-hal yang terjadi pada realitas kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Kacangan. 

Kritik/saran/masukan yang bersifat konstruktif (membangun) dari siapapun sangat kami harapkan. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar