Salah satu sisa bangunan kejayaan Jipang Tempo dulu |
Peradaban didaerah Jipang pada masa lampau tidak lepas dari keberadaan sungai Bengawan solo, Sungai terpanjang dipulau Jawa yang memiliki panjang 549 KM yang melintasi 15 Kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini menjadikan daerah Jipang salah satu daerah penting di Jawa, baik dalam kepentingan ekonomi, politik maupun kepentingan pertahanan, karena sungai ini adalah satu-satunya prasarana transportasi perdagangan antar kota yang menghubungkan pelabuhan sidayu digresik dengan kota-kota di Jawa tengah.
Dimasa lampau Daerah Aliran Sungai Bengawan solo ini merupakan pusat-pusat peradaban manusia sejak jaman purba. Bukti
sejarah yang dapat membuktikan hal demikian adalah banyak ditemukannya
fosil-fosil manusia purba di Desa Trinil sekitar 11 km dari Kabupaten
Ngawi Jawa Timur. Fosil yang ditemukan ditempat tersebut kemudian diberi
nama Phitecantropus erectus, yang ditemukan oleh seorang peneliti asal
Belanda tahun 1891. Bukti lain dengan adanya manusia Purba di sekitar
sungai dikuatkan dengan ditemukannya fosil-fosil lain seperti
Megantropus Paleojavanicus dan Homo Solonsis. Dengan ditemukan
fosil-fosil tersebut membuktikan bahwasannya Sungai bengawan solo dimasa lalu
adalah salah satu sumber kehidupan bagi mahluk hidup yang berada
disekitar sungai dari ribuan tahun lalu sampai sekarang.
JIPANG DI ZAMAN PERTENGAHAN
Didaerah
Jipang sebenarnya telah terbentuk sebuah kerajaan besar sejak jaman
Kerajaan Medang Kamulan berkuasa di Jawa Timur setelah berakhirnya kerajaan
Mataram Hindu yakni disekitar diabad 10 Masehi, Kerajaan itu bernama
Wura-Wuri yang beribukota di Ngloram Cepu. keberadaannya tercatat dalam
prasasti Pucangan atau Calcutta stone yang
menyatakan bahwa Kerajaan ini
bersekutu dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menyerang Watan, Ibukota
kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati Magetan ) dimana pada masa
itu diperintah oleh Maharaja Darmawangsa Teguh, paman sekaligus mertua
dari Airlangga.
Serangan
Pasukan gabungan kerajaan Wura-wuri dan kerajaan Sriwijaya ini terjadi
pada Tahun
928 Saka atau 1016 Masehi, dimana pada saat itu kerajaan Medang sedang
menggelar hajatan besar menggelar pernikahan Airlangga dan putri
Darmawangsa. serangan yang mendadak dan tidak terantisipasi sebelumnya
itu mengakibatkan gugurnya Prabu Darmawangsa
Teguh beserta seluruh kerabat Kerajaan kecuali Airlangga, yang mana pada
saat itu berhasil melarikan diri ke pegunungan sekitar daerah mojokerjo
JIPANG DIMASA KESULTANAN DEMAK
Posisi Kadipaten Jipang pada saat Kesultanan Demak berkusa adalah daerah vasal (bawahan) dari kesultanan Demak, Adipati pertama Jipang A.dalah Pangeran Sekar Seda Lepen putra kedua dari Raden Fatah, setelah beliau wafat kemudian pimpinan Kadipaten ini dilanjutkan oleh putra pertamanya yakni Pangeran Arya Penagsang atau lebih dikenal dengan nama Arya Jipang.
Setelah Sultan Trenggono wafat saat memimpin pasukan Demak menaklukkan Pasuruan pada tahun 1546 Masehi, Jipang dibawah perintah Arya Jipang kemudian terseret dalam perebutan kekuasaan Demak yang mengakibatkan Beliau bersama Patih Metahun gugur dalam pertempuran sengit melawan Sutawijaya yang merupakan utusan Sultan Pajang.
JIPANG DIJAMAN PAJANG DAN MATARAM
Raja pertama mataram adalah Panembahan Senopati yang memerintah mataram (1588-1601) kemudian dilanjutkan oleh Mas Jolang ( 1601-1613) kemudian pemerintahan dilanjtkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo ( 1613-1645) pada saat Sultan Agung memerintah inilah Mataram mencapai puncak kebesarannya.
Setelah beliau wafat, kekuasaan jatuh kepada penguasa Dzalim yakni Sunan Amangkurat I, banyak sekali kerusuhan-kerusuhan saat Raja ini memerintah dimana puncaknya adalah pemberontakan Trunojoyo.
PEMBERONTAKAN TRUNOJOYO
Raden Trunojoyo, sering pula ditulis Trunajaya, (Madura, k.1649 - Payak, Bantul, 2 Januari 1680) adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil merebut keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya ditegal arum pada tahun yang sama.
Laskar Madura pimpinan Trunojoyo ini bekerja sama Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC. Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan (Situbondo) Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC. Trunojoyo bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena tindakannya terhadap para ulama penentangnya.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom.
Pada bulan September 1676, Trunojoyo beserta pasukan gabungannya mulai melakukan ekspansinya ke Mataram hingga bulan Oktober 1677, secara luar biasa pasukannya berhasil meringsek maju hingga ke ibukota Kesultanan Mataram di Plered.
Secara ringkas penaklukan Trunojoyo disajikan dalam data berikut :
- Perang di Gegodog pada tanggal 16 Oktober 1676. Bangsawan Mataram yang gugur diantaranya : Panji Wirabumi, Kiai Ngabei Wirajaya, , Kiai Rangga Sidayu dan Pangeran Purbaya.
- Lasem ditaklukan tanggal 18 Oktober 1676.
- Rembang dihancurkan dan dibakar pada tanggal 24 Oktober 1676.
- Jepara diserang pada tanggal 20 November 1676. Namun karena kota ini dilindungi oleh VOC-Belanda, maka pasukan Madura pun keluar dari Jepara. Hal ini berlaku pula untuk kota Kudus.(harus digarisbawahi bahwa Trunojoyo tidak ingin berperang dengan VOC)
- Demak jatuh pada tanggal 11 Desember 1676. Kurang lebih 11.000 pasukan Mataram meninggalkan Demak karena kekurangan pasokan bahan makanan.
- Tanggal 24 Desember 1676, Laskar Madura telah masuk dan membakar kota Semarang. Adipati Semarang Nayacitra melarikan diri, sementara itu, bawahannya Astrayuda, menyeberang ke pihak musuh.
- Menjelang tahun baru, sebuah kapal Cirebon memberi tahu bahwa Laskar Madura sudah merebut Pekalongan.
- Tegal baru jatuh pada tanggal 2 Januari 1677 tanpa kekerasan. Armada Madura yang terdiri dari 24 kapal ”konting” muncul di teluk. Pimpinannya adalah Ngabei Sindukarti, paman dari Trunojoyo.
- Cirebon yang dipimpin oleh Adipati Martadipa menyerah tanggal 5 Januari 1677.
Trunojoyo sendiri pada bulan April 1677 memberitahukan kepada utusan VOC-Belanda bahwa separuh wilayah Mataram telah ditaklukan dan bersiap untuk melakukan serangan pamungkas ke Ibukota Mataram di Plered.
Setelah menguasai Plered dan menjarah isinya, bahkan kemudian menikahi putri Amangkurat I (setelah menculiknya), Trunojoyo membangun basisnya di Kediri dan mengangkat dirinya sebagai penguasa Mataram yang baru.
Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum. Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo. Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara (September 1677) yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.
Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman akhirnya memusatkan kekuatannya untuk menaklukkan Trunojoyo. Di laut VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama pasukan Amangkurat II.
Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 orang berhasil terus mendesak Trunojoyo. Setelah menguasai Surabaya, VOC mengirimkan ekspedisi ke Kediri yang dipimpin oleh Anthony Hurdt. Ekspedisi ini kurang lebih berjumlah 3000 orang yang terdiri dari orang Belanda, Ambon (dipimpin oleh Jonker), Bali, dan Bugis (dipimpin oleh Aru Palakka). Mereka dibantu oleh pasukan Mataram yang masih setia kepada Amangkurat II. Benteng pertahanan Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Trunojoyo kemudian diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Setelah bertemu, Amangkurat II mengatakan kepada Trunojoyo, ”Saya ampunkan kamu dan mengangkat kamu sebagai Adipati Madura”, sambil ia menusuk Trunojoyo dengan kerisnya. Trunojoyo pun akhirnya tewas di tangan Amangkurat II.
PERJANJIAN JEPARA DAN PEMINDAHAN KADIPATEN JIPANG
Perjanjian Jepara yang ditandatangani antara Susuhunan Amangkurat II dan
VOC pada tanggal 28 September 1677 yang berisi antara lain penyerahan
pesisir utara pulau Jawa kepada VOC sebagai Gadai atas biaya perang
melawan Trunojoyo.
Konsekwensi dari perjanjian tersebut adalah, pada tanggaL 20 Oktober 1677 kadipaten Jipang yang dahulu membawahi Lasem, Pati, Rembang dan Blora harus memindahkan Ibukotanya diluar wilayah yang dikuasai VOC yaitu diseberang timur sungai Bengawan solo tepatnya di Kota Padangan dengan Bupati Pangeran Mas Toemapel yang merangkap jabatan sebagai Wedana Amancanegara Wetan. peristiwa bersejarah ini kemudian diabadikan sebagai hari Jadi Kabupaten Bojonegoro.
Konsekwensi dari perjanjian tersebut adalah, pada tanggaL 20 Oktober 1677 kadipaten Jipang yang dahulu membawahi Lasem, Pati, Rembang dan Blora harus memindahkan Ibukotanya diluar wilayah yang dikuasai VOC yaitu diseberang timur sungai Bengawan solo tepatnya di Kota Padangan dengan Bupati Pangeran Mas Toemapel yang merangkap jabatan sebagai Wedana Amancanegara Wetan. peristiwa bersejarah ini kemudian diabadikan sebagai hari Jadi Kabupaten Bojonegoro.
Pemerintahan di Kabupaten Jipang di Padangan ini berlangsung sampai ada
perintah dari Sri Susuhunan Pakubuwono II kepada Bupati Haryo Metahun
untuk memindahkan Ibukota ke Rajekwesi pada tahun 1725
Masehi.(kohar/kimkt)
(Dikumpulkan dari berbagai sumber )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar