Meski belum terhitung deras, guyuran air hujan semalam kembali menyegarkan bunga-bunga dan tumbuhan yang tertata indah dalam pot-pot yang berjajar rapi di sisi trotoar sepanjang kanan dan kiri jalan depan Pasar Legi Kacangan. Sementara beberapa lampu taman menyembul di sela-sela tanaman bunga, yang beberapa diantaranya terlihat masih menyala. Semerbak aroma wangi beberapa jenis bunga tak cuma mengundang kupu-kupu berwarna-warni beterbangan untuk menghinggapinya, indra penciuman Poniman juga turut merasakannya dan menjadi aroma therapy alami tersendiri yang mampu memompa gairah kerjanya.
Pemandangan asri dipadu selimut kabut tipis dibawah siraman cahaya mentari yang masih agak malu-malu menebarkan cahayanya, menjadikan suasana pagi itu lebih segar dibanding hari-hari sebelumnya, setidaknya setelah dalam beberapa bulan terakhir hujan tak menyambangi bumi Kacangan.
Suasana keramaian pasar sudah mulai nampak, sekalipun pagi ini hari pasaran Pahing. Beberapa becak berlalu-lalang mengangkut barang dan penumpang. Penitipan sepeda motor di sebelah Bengkel Johan juga sudah mulai terisi dua lajur. Poniman turut menaruh becaknya di sisi luarnya, sambil tersenyum ia melambaikan tangan pada Wik, yang saat itu sedang mengatur kendaraan titipan. Wik membalasnya dengan acungan jempol dari kejauhan. Poniman segera beranjak beriringan dengan Tajab, yang sejak tadi sudah menunggunya untuk menjalankan pekerjaan rutin, menurunkan dagangan buah dari truk milik mas Yulianto’s Saudagarbuah.
Poniman merasa senang melihat cara kerja Tajab yang tangkas dan cekatan. Sekalipun usianya terbilang masih belia, ia tak merasa harus canggung atau malu untuk bekerja di pasar. Bahkan hal ini sudah ia lakukan jauh sebelum bapaknya tiada beberapa bulan lalu. Tipe-tipe anak muda seperti Tajab memang relatif masih banyak bisa ditemukan di Desa Kacangan. Kebanyakan dari mereka sejak dini sudah memasuki orbit alur kehidupan yang tak melulu bergelimang kemudahan dan kelengkapan fasilitas hidup.
Untuk memahami realitas antara pemuda yg sigap dengan yang gamang alias galau dalam menghadapi kehidupan, Poniman jadi teringat kejadian yang masih terekam dengan baik di kepalanya yaitu saat terlibat obrolan di serambi Masjid Mujahidin Kacangan selepas sholat Dzuhur dengan Mas Ghofur dan Mas Aziz, salah satu figur pemuda sukses di Desa Kacangan, pemilik CV. Elang. Ketika itu, obrolan ringan sempat merembet ke soal persamaan dan perbedaan antara ayam horen ( ayam potong) dengan ayam kampung.
Poniman : Mas Aziz, sekalipun belum pernah mengelola peternakan ayam, tapi sampeyan kan pernah mengelola peternakan kambing, dan sukses. Nek sekilas tak delok, pola penanganan antara ternak Kambing dan ternak ayam gak bedo adoh. Sampeyan barangkali iso njelasno agak detil tentang persamaan dan perbedaan antara ayam horen ( ayam potong) dengan ayam kampung ?
Aziz : Hehehe… Ngene, Man, sebenare nek masalah bibit iku iso wae dari bibit yang sama, tetapi perlakuan dan cara "ngramutnya" yang membedakan kualitas antara keduanya.
Ayam horen (ayam potong) memang diperlakukan super istimewa; makan disiapkan, kandang dibersihkan, makan dan minuman bergizi, bahkan saiki sedang berkembang kandang ayam ber AC, agar pertumbuhanya menjadi lebih cepat.
Poniman : Mosok to, mas, kandang ayam wae sampek gawe AC ? ah….ngalah-ngalahi umume omahe wong wae hehehe…
Ghofur : Hehehe… (Tertawa terkekeh-kekeh hingga jenggot panjangnya yang menjuntai bergerak melambai-lambai) Lha yo to Mas Aziz, omah sak Kacangan wae lho ora enek sing dipasang AC, lha...iki kandang pitik gawe AC. Wah...mulyo tenan pitike...
Aziz : Lho…iyo tenan iki, iso mbok cek ning kandang-kandang ayam nggone peternakan ayam sing gede kuwi… Sementara ayam kampung, sejak lahir gak enek perlakuan istimewa/khusus, pemilik ayam gak harus menyiapkan makanan setiap hari, gak ada makanan bergizi siap saji, bahkan terkadang gak enek kandang khusus. Ayam kampung terbiasa golek pangan dewe, "eker-eker" makanan kesana kemari, kadang dapat kadang gak.
Poniman : Iyo… terah wong-wong biasane yo nek enek siso sego dipakakne, nek ora duwe yo diculno ngono wae
Aziz : Lha…cara perlakuan iki lho sing akhire menjadikan perbedaan menyolok/signifikan dari sisi mutu/kualitas dan perkembangan/produktifitas antara ayam horen karo ayam kampung. Ayam horen, karena gak terbiasa golek pangan dewe, gak terbiasa menghadapi ujian, tantangan, kesulitan, maka saat dikeluarkan dari kandangnya tanpa disiapkan makanan dan minuman, pasti akan cepat mati. Rasane yo ora selezat ayam kampung. Ini sangat berbeda dengan ayam kampung, ia kuat, tangguh, tak mudah sakit-sakitan, tak mudah mati, bahkan roso daginge luwih gurih dan lezat, karena ia punya life style ( gaya hidup) dinamis, mandiri, penuh tantangan, ujian dan kesulitan. Ia tak biasa hidup manja, hidup serba ada dan "cemepak".
Dari lintasan memori tentang obrolannya dengan Mas Aziz tempo hari, membuat Poniman mencoba menggali pelajaran dari ayam, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan perkembangan keberadaan generasi muda; bahwa prestasi, kehebatan, bahkan masa depan anak-anak muda, ternyata akan sangat bergantung oleh desain life style (gaya hidup) orang tua hari ini. Jika diri, anak-anak dan anak didik diperlakukan terlalu istimewa, manja, serba "cemepak", tidak terbiasa menghadapi tantangan dan kesulitan, maka mereka akan sekualitas ayam horen, mudah patah, mudah putus asa, mudah menangis dan tak tegar menghadapi tantangan kehidupan.
Padahal hidup ini ujian, tantangan. Jangankan hal-hal yang besar, hal kecil saja seperti saat keluar rumah, saat itu orang akan dihadapkan tantangan panasnya cuaca, dinginya hujan dan resiko celaka bahkan kematian karena begitu banyaknya kendaraan lalu lalang.
Tiba-tiba lamunan Poniman buyar oleh jatuhnya beberapa buah salak yang ia usung.
Tajab : Oalah....Kang Maaan…Kang Maan, opo cah….usung-usung kok karo nglamun. Sampek salake podo ceblok, gak roh…(sambil memunguti buah salak yang berjatuhan di belakang Poniman)
(Untungnya barang yang dibawa Poniman adalah keranjang terakhir dari truk)
Poniman : (sambil istirahat duduk berdua dengan Tajab di depan kios emas) Jab, sing tak lamun mau ngene lho….hidup ini berkelok, terjal, beronak dan bebatuan. Kudune awak dewe yo siap bermental pejuang dan pahlawan. Mangkane, nek enek wong sing ngenyek yo kudu matur nuwun, sebabe cacian mau menempa kesabaran. Bersyukurlah jika kita tengah menghadapi ujian berat, ujian ekonomi, ujian keluarga, karena kita tengah dididik, ditempa menjadi pejuang pantang menyerah. Tersenyumlah saat air mata kita bercucuran ketika menghadapi himpitan dan besarnya cobaan, karena kita tengah belajar menghadapi badai, melompat melampui onak dan duri dan belajar tetap tegak berdiri meski tubuh lemah lunglai.
Teruslah belajar bersabar atas cobaan dan derita panjang...
Tajab : Nggih Mbaaah…….. hahaha…………. Hidup Kang Poniman !!!! (tertawa sambil berdiri mengepalkan tangan ke atas)
Poniman : Ooo....tak goco lho, Jab..!!! dikandani wong gerang kok malah pencila'an...
(bersambung) to be continue....
Catatan :
Maaf bila terdapat kesamaan nama tokoh dan alur cerita dengan
realitas yang ada. Serial obrolan imajiner ini semata ditulis dengan
tidak ada maksud lain kecuali untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan.
Sedangkan pengambilan setting lokasi Desa kacangan dimaksudkan untuk
lebih mengentalkan nuansa emosi pembaca, serta mengangkat hal-hal yang
terjadi pada realitas kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Kacangan.Kritik/saran/masukan yang bersifat konstruktif (membangun) dari siapapun sangat kami harapkan. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar