Rabu, 13 Maret 2013

Pasar Legi Kacangan, Nasibmu Kini

(Oleh : Ahmad Shodikin)

Purwosari-20130321-00751

Bagai menjadi “Anak Kandung Terbuang dan Anak Angkat Tersiksa”. Ungkapan yang berarti Anak kandung yang tidak pernah dimiliki karena diambil oleh orang lain, dan anak angkat yang tidak terawat karena bukan hak milik sejati tersebut nampaknya sesuai dengan kenyataan yang menimpa Pasar Legi yang berlokasi di Desa Kacangan Kec. Tambakrejo Kab. Bojonegoro.

Betapa tidak, pasar yang ramainya setiap hari pasaran legi tersebut lahir dan besar di tanah desa kacangan tertapi ironinya dalam sejarah tidak pernah memiliki dan mengelolanya. Sebaliknya justru orang lain yang memiliki dan mengelolanya. Memang dalam perjalanan sejarah pasar yang berlokasi di Desa Kacangan tersebut awalnya justru dikelola oleh Desa Ngambon desa sebelah yang notabene bukan Desa Kacangan. Dan ketika Desa Kacangan mau merebut hak tersebut dalam “Tragedi Pasar Legi” perebutan hak antara Desa Kacangan dan Desa Ngambon tahun 2003, maka kemudian hak kepemilikan diambil alih oleh Pemerintah Kab. Bojonegorokarena tidak diketemukan jalan keluar antara kedua pihak.

Dampaknya, nasib pasar tersebut merana tak terawat jauh dari pembangunan. Desa Kacangan sebagai desa yang ditempati pasar tersebut tidak  bisa berbuat banyak, pasalnya setiap RAPBDes baik dari program PNPM maupun ADD tidak pernah mencantumkan nama Pasar Legi sebagai sasaran program karenapasar tersebut statusnya bukan hak milik. Hanya kepada Pemkab Bojonegoro-lah harapan satu-satunya Desa Kacangan agar pasar tersebut bisa terawat dengan baik. Tetapi ironinya dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan pasar tersebut yang merasakan pertama kali adalah Desa Kacangan. 

Kriminalitas, para pendatang yang seenaknya membangun rumah di pasar, banjir besar saat hujan lebat karena tidak adanya pembuangan air adalah serba-serbi pahit yang selalu ada setiap saat. Hanya dampak ekonomi-lah yang bisa dirasakan oleh warga Desa Kacangan sekitar pasar. Dan di sisi lain Pemkab Bojonegoro sebagai pihak yang memiliki dan mengelolanya, juga tidak mau tahu dan ambil pusing. Hal ini cukup dimengerti karena memiliki dan mengelola Pasar Legi secara ekonomi adalah rugi. “Apa lah mas, hasil teribusi pasar ini lho jika dibuat untuk membayar gaji dan transport pegawai pasar dari Bojonegoro tidaklah cukup”, ungkap salah satu penarik retribusi. Memang biaya operasional pegawai pasar dan pemasukan dari retribusi karcis pasar tidak seimbang. Sehingga untuk mengurusi pegawai pasar saja mereka kerepotan apalagi merawat pasarnya.

Padahal, Pasar Legi adalah pusat dan pembangkit ekonomi Bojonegoro Barat Daya. Dari jaman kolonial belanda sampai sekarang, Pasar Legi adalah pasar yang paling ramai di antara pasar-pasar sekitarnya. Diceritakan, dulu saat penjajahan belanda banyak para pedagang etnis cina dari Padangan dan Cepu yang datang malam harinya menjelang hari pasar legi. Mereka ada yang naik mobil, dokar, ataupun jalan kaki. Demikian pula pedagang dari Desa Sekar atau biasa dikenal dengan “orang gunung” sudah ada yang datang  malam harinya menjelang hari legi dan menginap di pasar dengan membawa hasil bumi dan pulang membawa peralatan atau kebutuhan rumah. 

Diceritakan pula di luar aktifitas perdagangan, pasar merupakan sentra berkumpul dan bermain warga sekitar mulai dari anak-anak sampai orang dewasa bahkan sering digunakan lapangan sepakbola anak-anak dan pertunjukan musik, layar tancap, dan aneka hiburan rakyat. Hal itu terjadi karena pasar masih tertata, terawat dengan bersih, dan belum banyak bangunan kecil liar yang berdiri di tiap sudut.
Meskipun kondisi pasar sekarang berubah sudah tidak seperti dulu lagi yang kotor, lembab, tak terawat, dan banyak bangunan liar mulai dari yang hanya bangunan sementara sampai permanen tetapi Pasar Legi masih menjadi sentra atau penggerak ekonomi masyarakat sekitar. Para pedagang-pedagang jauh juga masih banyak meskipun sudah tidak menginap lagi. Meskipun sudah banyak supermarket-supermarket di kota dan mudahnya transportasi, tetapi Pasar Legi juga masih menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka mulai dari penjual dan pembeli/tengkulak hasil bumi masyarakat sekitar sampai pada mereka yang sekedar konkow-konkow alias mejeng bagi para ABG yang sedang mencari cinta.

Dari uraian di atas, sekarang harapannya hanya satu bagaimana Pasar Legi tetap menjadi sentra penggerak ekonomi masyarakat sekitar yang selalu diperhatikan dan dirawat siapapun pengelolanya. Menjadi pasar yang bertaraf modern dari segi bangunan dan tata kelolanya tetapi tidak menghilangkan cita-rasa tradisionalnya siapapun pemiliknya. Dan ini adalah salah satu upaya membangun desa dan daerah melalui pasar. 

Catatan : 11 Sept 2003 terjadi pergolakan yang dimotori oleh anak muda Kacangan dengan aksi demonstrasi damai menuntut kejelasan tentang status kepemilikan dan pengelolaan Pasar Legi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar